web ini masih dalam tahap pengembangan jika nanti anda mengunjungi web ini dan apabila mengganggu kenyamanan anda kami dari phak management minta maff ketidak nyamanan anda itu dikarenakan web ini sedang melalakukan update

ucapan salam

Minggu, 06 Maret 2011

CERpen

PrintFriendly
Setangkai mawar merah itu tampak mencolok dibanding rerumpun bunga lainnya. Kelopaknya segar, basah, merah pekat. Putih setengah berlari mengitari rumpun-rumpun bunga yang beragam warna itu. Sesekali jemari mungilnya yang lentik menyentuh kelopak-kelopak bunga. Sesekali pula terdengar gelak-tawanya berderai-derai.
Hingga ia mendekat pada mawar merah segar, basah, dan merah pekat. Terpana penglihatannya memandang mawar merah itu. Lama ia berdiri di depan setangkai mawar merah itu tanpa menyentuhnya sedikit pun.
Mawar merah itu membawa ingatannya melancong ke masa ketika ia beranjak remaja. Semasa itu, Biru, lelaki yang sedari lama ia suka, meminta Putih untuk mengiriminya bunga mawar merah yang  dibeli di kios bunga bernama Bunga Setangkai pada hari Rabu tanggal 13 Oktober 2010. Tepat pada hari ini. “Lalu, aku akan mengirimi perempuanku bunga mawar putih. Aku juga akan beli di kios itu karena bunga di sana bagus-bagus.” Begitu ucap Biru pada Putih ketika itu. Entah apa alasannya. Putih dibuat tak rasional karena cinta.
Namun, kini, Biru menghilang lenyap dari sekitarnya entah ke mana. Entah bagaimana keadaannya kini. Entah bernyawa entah tidak, entah makan entah tidak, entah menggembel ia di jalanan entah di kota mana. Entah sudah berapa lama, Putih tak pula sanggup menghitung hari, bulan, bahkan tahunnya.
Diliriknya ayahnya dari sudut mata kanannya. Lalu kembali beralih pandangannya pada mawar merah. Mengiba hati Putih ketika ia dengar penjual bunga itu berkata bahwa mawar merah itu tak dijual. Putih lalu menarik napas panjang, lalu ia hembuskan pelan.
Ayahnya tentu tak mengapa jika mawar merah itu tak dijual. Ayah lalu mengajak Putih beranjak dari kios bunga bernama Bunga Setangkai itu. Putih berdiri mematung diam bersebelahan dengan mawar merah yang diinginkannya. Ia membawa dagunya ke dadanya. Membenamkannya hingga dalam.
Ayah kemudian menuju Putih. Ia merangkul Putih sembari berbisik.
“Ibumu tentu tak suka kalau mawar merah itu dipaksa ikut denganmu. Lagipula, mawar merah itu cantik sekali. Jika dijual, harganya pasti mahal. Atau kamu bisa menabung dulu. Akhir minggu kita kemari lagi membelinya.”
Putih abai. Ia masih menundukkan kepalanya, ia sempat menjawab perkataan ayahnya sebelum mengatupkan bibir tipisnya rapat-rapat.
“Hari Rabu ini atau Rabu depan. Aku tak ingin membelinya akhir minggu,” jawab Putih tegas.
***
Putih pulang beriba hati tanpa bunga mawar merah itu. Hingga malam menjelang, Putih masih bermuka masam. Menyudut ia duduk di kamarnya. Hatinya tak tenang mendengar gerak jarum jam. Tak ingin ia hari Rabu ini berganti.
Hingga pukul sembilan malam. Mulai terasa kebisuan malam ketika jam dinding berdentang sembilan kali. Sepi sekali di luar sana. Dari dalam kamar Putih, tak terdengar suara-suara. Hanya nyanyian kodok dan rintik hujan. Lampu padam tiba-tiba. Gelap menyungkup datang.
Ditundukkannya kepalanya dalam-dalam. Sembari memutar keras otaknya yang harus mendapatkan bunga mawar merah itu hari ini juga. Berputar-putar  kedua matanya, atas bawah ke kiri dan ke kanan. Mencari cara agar ia bisa dapatkan bunga mawar merah itu. Dibawanya dirinya pada pintu kamarnya. Meragu hatinya akan kembali menuju toko bunga itu atau tidak. Jarak yang tak dekat menjadi salah satu alasannya. Lagipula, entah masih buka entah tidak kios bunga itu kini.
***
Malam kelam dengan remang cahaya lilin membikin Putih tak mampu tidur. Ditambah pula perihal bunga mawar merah yang entah bagaimana nasibnya. Berjalan cepat sekali jarum jam malam itu. Berlari kencang seperti kencangnya anak-anak mengejar layang-layang. Hingga mendingin ia ketika jam dindingnya mencapai angka 11. Kembang-kempis dadanya menyadari waktu akan terus beranjak hingga pagi menjelang.
Sempat terpejam matanya, lelap dalam tidur. Tak berapa saat kemudian, terbangun ia dari tidurnya. Sebentar tertidur, sebentar terjaga. Ketika membuka matanya, mengarah pandangannya ke arah jam dinding. Bunga mawar merah. Entah sudah berapa kali dalam malam ini ia terjaga karena  bunga mawar merah itu.
Semakin berjalan waktu, semakin bertambah rasa takutnya. Putih tak siap menyambut pagi. Jika sempat pagi bertamu, tak bisa ia penuhi permintaan Biru. Dilangkahkannya kedua kakinya ke arah jam dinding. Diraihnya lalu ditaruhnya di pangkuannya. Dibukanya kaca jam itu, lalu jari-jarinya bergetar-getar menyentuh jarum-jarum jam itu. Putih menggeser jarum jam itu kembali ke pukul satu siang. Masih tersengal-sengal napasnya semasa itu.
Tak pernah ia sadar bahwa meskipun digesernya jarum jam itu, Kamis pagi tak akan melambatkan langkahnya bahkan tak akan menyurutkan inginnya untuk tiba.
Hari Rabu akan segera berlalu. Tinggal hitungan menit saja. Putih tak ingin matanya terpejam sekejap pun selama hari ini masih hari Rabu. Dibukanya matanya lebar-lebar. Dicari-carinya aktivitas yang dapat ia lakukan dalam kelam itu. Didengarnya lagu-lagu rock melalui pemutar music handphone-nya. Lima menit melagu, terkantuk-kantuk ia.
Dipaksakannya untuk tetap terjaga. Lalu, dicarinya pula kopi agar matanya tetap besar dan menyala. Seperti yang biasa dilakukan ayah jika pekerjaannya harus diselesaikan malam itu juga. Sembari mendengarkan music rock yang memekakkan telinganya, Putih meneguk kopinya setiap satu menit sekali. Namun, pada detik ke 58, matanya tak bisa berkompromi. Dipaksakannya lagi untuk terjaga pada detik ke 60. Lalu, terkantuk lagi pada detik ke 58. Selalu begitu.
Dibawanya tubuhnya pada sebuah lemari di sudut ruangan. Dibukanya lemari itu perlahan lalu tangannya mengais-ngais sisi bawah lemari itu. Ditemukannya sebuah buku yang sudah di selimuti debu tebal itu. Ditiupnya pelan debu-debu itu. Dibersihkannya debu itu dengan telapak tangannya.
Putih lalu membuka lembar demi lembar buku catatan hariannya semasa SMP dulu. Semasa ia mulanya menggilai Biru. Putih membaca kata demi kata di setiap lembaran itu hingga halaman yang menguning itu berganti. Hingga sampai ia pada halaman yang tertulis tentang permintaan Biru itu. Dibacanya berulang kali. Entah hingga kali ke berapa, Putih menyerah, seketika berada dalam alam bawah sadarnya. Rasa perih matanya tak terbendung lagi. Rasa kantuknya tak mempan diusir pergi begitu saja. Hingga esok pagi ia terjaga di hari Kamis. Putih menangis.
***
Kamis ini usia Putih sembilan belas tahun. Antara remaja dan dewasa. Namun, entah bagaimana ia akan melalui masanya jika ia masih begitu-begitu saja. Itulah yang dikhawatirkan ayah ibunya. Sedari kecil, Putih selalu dimanja, selalu dapatkan yang ia inginkan. Begitu pula kedua kakaknya yang selalu memanjakan Putih. Usia mereka memang terpaut agak jauh.
Pagi-pagi buta, Putih sudah protes pada mereka yang ada di rumah ketika itu.
“Kenapa hari ini hari Kamis? Kenapa aku malah berulang tahun di hari Kamis, bukan Rabu!” Tak seorang pun menjawab ocehan Putih semasa itu, kecuali kakaknya menggerutu pelan.
“Kenapa harus Rabu? Rabu, Rabu, Rabu melulu.”
“Aku ingin ulang tahunku Rabu depan!” ucap Putih, lalu berlalu.
“Kau ini seperti tak bertuhan saja. Rabu dan Kamis itu sama saja. Rabu dan Senin juga sama. Tak ada istimewanya hari Rabu. Kau kira jika hari Rabu hidupmu akan selalu beruntung?” balas kakaknya.
Putih tak menghiraukannya. Ia berjalan menuju kamarnya.
***
Hampir tengah malam, sepanjang perjalanan pulang dari kantor, ayah tak henti mengurut-urut keningnya. Napasnya megap-megap. Masih terngiang-ngiang suara kecemasan ibu di telepon kemarin siang, sore, pagi tadi, dan sore tadi. Kakak Putih belum juga pulang sedari Senin. Sekarang sudah tiba pula hari Rabu. Entah ke mana perginya gadis dua puluh lima tahun itu. Tak ada kabar berita, tak pula bisa dicari kabarnya.
Letih ayah melangkah. Satu-persatu langkahnya menuju kamar. Ia duduk diam. Ayah abai dengan kehadiran Putih di sebelahnya. Putih tetap saja mengoceh. Bertanya ia pada ayah, jika ayah menanti janji, apakah ayah akan memaafkannya jika telat? Ayah tak merespon apa-apa. Pikirannya masih digerogoti bayangan anak sulungnya.
Putih kemudian beranjak dari duduknya, meninggalkan ayah di kamar. Dilihatnya ibunya duduk termenung di kursi tamu. Sesekali memandang ke arah pintu. Terkantuk-kantuk namun selalu berusaha untuk terjaga.
“Putih, kakak sudah pulang belum?”
Putih menggelengkan kepalanya. Lalu ia tertidur lagi. Setiap malam ibu begitu. Duduk di kursi ruang tamu terkantuk-kantuk hingga menjelang pagi. Sedangkan ayah baru pulang hampir tengah malam. Mencari kakak yang tak kunjung bertemu.
***
Putih benar-benar tak menyukai mereka. Entah karena apa mereka tak pernah paham bahwa Rabu itu istimewa. Sudah dicari-carinya alasan bahwa ia suka Rabu tanpa alasan.
Ketika Kamis lalu kakak berangkat kerja, Putih bilang padanya bahwa ia sangat inginkan mawar merah di kios Bunga Setangkai itu Rabu depan. Kakak lalu mengernyitkan keningnya, kemudian menatapku. Satu detik, tiga detik, lima detik. Ia membalikkan badannya.
“Setelah Rabu, sekarang mawar, besok apalagi?” tanya kakaknya sambil berlalu.
Lalu, Putih terdiam mematung melihatnya pergi. Ah, entah di mana kakaknya itu kini. Entah sedang apa ia sekarang. Tak pernah terdengar lagi kabarnya hingga Rabu pagi.
Rabu pagi ini langit masih kelam, semua mata masih terpejam. Terdengar suara ketukan pintu sayup-sayup sampai di telinga ibu. Antara tidur dan jaga ibu 50 tahun itu. Berkali-kali ia berbalik badan, ke kiri, ke kanan, miring, telentang, menelungkup. Masih juga terdengar ketukan-ketukan itu. Bangun ibu dari tidurnya, hendak beranjak dari tempat tidur. Lalu, ayah ikut bangun. Menuju pintu depan mereka berdua. Perlahan dibukanya pintu itu. Tangis ibu pecah seketika saat melihat sosok yang ada di balik pintu itu.
Kakak yang sudah enam hari tak terdengar kabarnya kini kembali pulang. Cerah ceria rona wajahnya. Ditambah pula peluk cium beserta tangis rindu ayah dan ibu menyambut kedatangannya. Tak sepenggal kalimat pun keluar dari mulut kakak perihal kepergiannya yang tak berkabar itu. Hanya senyum gembira yang tergambar di wajahnya.
Suasana kegembiraan itu terdengar hilang timbul dari kamar Putih. Dibukanya pelan pintu kamarnya. Dilihatnya suasana itu dengan mata kanannya, sedangkan mata kirinya bersembunyi di balik pintu.
Hingga bertanya ibu tentang bunga mawar putih yang sedari tadi berada dalam genggaman kakak. Kakak tersenyum malu.
“Ini dari Biru. Ia memberiku bunga ini pada Rabu lalu, 13 Oktober. Bunganya bagus kan, Bu?”
Ibu kemudian mengernyitkan dahinya.
“Ibu ingat, kan? Biru yang waktu itu aku ceritakan. Biru yang kusukai sedari SMP. Kamis lalu, Biru memintaku untuk menjadi pacarnya. Lalu, Biru memintaku ikut bersamanya. Ceritanya panjang sekali, Bu. Biru mengajakku ke tempat-tempat indah yang dia suka dan aku juga suka. Lalu, di perjalanan kami tersesat. Hingga kami baru menemukan jalan pulang kemarin malam.  Maafkan aku ya, Bu. Aku tidak mengabari Ibu dan ayah. Handphone-ku tentu sudah mati,” lanjut kakak sambil memeluk ibu.
Rabu pagi ini tak terdengar suara Putih. Sunyi senyap kamar Putih. Dari balik pintu kamarnya, hanya terdengar isak tangisnya menyayat hati. ***

0 komentar:

komentar client