web ini masih dalam tahap pengembangan jika nanti anda mengunjungi web ini dan apabila mengganggu kenyamanan anda kami dari phak management minta maff ketidak nyamanan anda itu dikarenakan web ini sedang melalakukan update

ucapan salam

Selasa, 15 Februari 2011

cerita tentang orang melayu tentang Nol Besar

PrintFriendly
Dalam alam pikiran orang Melayu namaku cukup dikenal dan barangkali melegenda hingga hari ini. Mereka mengenalku sebagai pemberontak. Simbol perlawanan dan pembangkangan terhadap kebatilan. Sebagian menganggapku sebagai pecundang dan tak sedikit pula yang menempatkan derajatku sebagai pahlawan. Tapi terus terang, tak secebis pun aku memikirkan hal itu karena bagiku ketidakadilan harus dienyahkan dari muka bumi ini.
***
RASANYA, tidak perlulah aku menyebut-nyebut namaku di sini. Aku percaya kalian pasti mengenalku, jika kalian memang benar anak-cucuku yang paling sah. Kehadiranku saat ini bukan karena merindui kalian tapi sebagai pendahulu, aku merasa malu dan bertanggung jawab atas situasi dan kondisi yang kian memprihatinkan. Sudah terlalu lama aku menahan agar tidak ikut campur dalam urusan kalian. Terlalu lama pula aku bersabar menjadi penonton setia atas nasib dan prilaku kalian yang kunilai tidak terpuji sama sekali. Pokoknya, sekarang aku harus bicara dan mengingatkan pada anak-cucuku bahwa kalian sudah tersesat dalam kemunafikan yang dangkal sekali.
Sekarang, aku harus membentangkan kembali kitab sejarah, hikayat, mitos, legenda, atau apapun namanya bagi kalian. Ini semua karena sebuah alasan yang masuk akal dan memang perlu. Sebagai pengingat atau peringatan yang harus kalian camkan bersama sehingga puak kita tak lagi dipandang sebelah mata oleh puak mana pun. Marwah atau harga diri wajib dipertahankan sampai titik darah penghabisan. Jangan jadi pengecut dan mau diperalat oleh harta benda dan tawaran kekuasaan semu. Percaya atau tidak aku telah melakukannya. Sebagai imbalannya aku harus mati di tangan saudaraku sendiri. Kalian pasti tahu dan masih mengingat saudaraku itu. Ia adalah Hang Tuah.
â€Å“Raja alim raja disembah, raja zalim raja disanggah”. Kata-kata itulah yang menjadi dasarku untuk melawan penguasa zalim karena itu pula aku dibenci, dihina, dicaci dan dimaki saudara-saudaraku sendiri. Aku bahkan tidak peduli harus menerima penistaan dan gunjingan dari orang-orang yang ikhlas diperbudak penguasa hanya untuk selamat dan mendapatkan keuntungan pribadi belaka. Sebagai anak negeri yang sah atas negeri ini, aku rela menjadi tumbal. Aku ikhlas menjadi satu-satunya orang yang dibenci hingga ajal menjemput. Tak sedikit pun aku merasa malu, apalagi terhina atas pendirianku itu. Justru aku merasa bangga dan tersanjung karenanya. Lantas, siapakah anak-cucuku yang mau melakukan hal serupa? Aku akan menjawabnya sendiri. Nol besar.
Aku tidak sakit hati pada Datuk Bendahara, saudaraku Lekir, Lekiu dan Kesturi, apalagi Tuah. Bahkan aku bisa memaafkan Patih Karma Wijaya dan kroninya yang memfitnah Tuah telah bermukah dengan Tun Teja di dalam istana. Aku tak marah pada Sultan yang  menjatuhkan Tuah hukuman mati tanpa usul periksa. Tidak, aku tidak sakit hati atas semua peristiwa itu. Aku teramat menyadari bahwa aku harus berkorban untuk tegaknya keadilan di bumi Melayu yang terkasih ini.
Jika aku mau dan berkehendak sesuka hati waktu itu, maka akulah yang akan menjadi Sultan. Apalagi tampuk kekuasaan sudah berada di bawah ketiakku. Bahkan Tuah takkan mampu mengalahkanku, apatah lagi yang lainnya. Jauh, pemikiran semacam itu jauh dari kepala hotakku karena dalam jiwa ini sangat menyadari, aku tidak layak menjadi penguasa. Karenanya, aku mengalah dan membiarkan Tuah membunuhku terlebih dahulu. Intinya, semua itu kulakukan agar di masa akan datang, anak-cucuku akan tahu, penguasa zalim dan keji sekalipun hanya mampu mempertahankan kekuasaannya seumur jagung saja. Kenapa? Karena kekuasaan serupa itu dibangun di atas pondasi rapuh yang mudah hancur diterjang angin malas sekali pun.
Aku dan Tuah harus beradu argumentasi dan ketangkasan bela diri untuk menjelaskan, duduk perkara yang terjadi waktu itu. Harus ada hitam-putih atas satu perkara dalam sebuah peristiwa penting untuk merubuhkan pendirian yang kalian sebut dengan istilah abu-abu. Dalam peristiwa ini sangat jelas terlukis bahwa saudaraku, teramat tunduk dan patuh membabi buta pada junjungannya, meski harus mengorbankan diri sendiri tanpa alasan pasti. Sedang aku harus bertindak sebagai penentang, walau harus bertikam bunuh dengan saudara sendiri. Inilah kenyataan yang harus dijalankan dengan segala resikonya. Barangkali, inilah kenikmatan hidup yang sebenar-benarnya hidup.
***
AKU tidak bermaksud menggurui kalian. Tidak pula mendoktrinasi pemikiran kalian dalam mengambil keputusan. Aku bahkan percaya, anak-cucuku kini adalah pemikir-pemikir ulung yang mampu memecahkan kebuntuan dalam segala hal. Dunia kalian hari ini jauh lebih maju dari dunia kami dahulu. Jarum jam zaman ini bahkan berpuluh-puluh kali lebih cepat melesat sehingga masa lalu, di kepala kalian hanya tinggal ampas yang tak perlu dikenang sama sekali. Dunia kita memang berbeda tapi peristiwa yang terbangun akan begitu-begitu saja. Paras dan wajahnya kian tampan dengan kerut-kerut yang rumit namun hakekatnya tetap sama.
Ada kesetiaan dan penghianatan. Ada kejahatan dan kebaikan. Ada kesenangan dan kesedihan dan ada pula kesenangan dalam kepura-puraan atau kepedihan yang dibuat-buat. Bahkan yang paling menyedihkan, bermuka abu-abu malah kian menjamur seperti lumut yang tertawa riang di bebatuan lembab. Jika dulu kami berkaca pada cermin dengan segaris retakan maka sekarang kalian berkaca pada cermin yang retak seribu. Kondisi ini menyayat hatiku dan memaksa air mataku tumpah walau sampai hari ini masih dapat kutahan dengan segala upaya.
Lebih memilukan, tak seorang pun di antara kalian yang dapat dijadikan panutan. Semuanya berjalan sendiri-sendiri. Terpecah-belah oleh keegoan tak bermata. Saling sikut, saling gigit, bahkan saling jilat satu sama lain hanya untuk meraih kemenangan tak berdasar baik. Kalian senang memelihara kelicikan hati, kepicikan diri, kemunafikan yang diwariskan Iblis si penguasa neraka. Tak satu pun dari kalian yang mau mengalah untuk menggapai kemenangan hakiki. Kalian gulingkan pilar kearifan lokal dan menukarnya dengan keangkuhan duniawi. Budaya kalian jadikan barang molek seperti cendera mata untuk dijual murah. Kalian perdebatkan kearifan lokal dengan pemikiran baru yang tak tentu  rah. Kalian mentahkan nilai-nilai, norma-norma luhur yang telah diciptakan para leluhur kalian. Jangan, jangan biarkan diri kalian memuja berhala itu.
Mengapa di negeri ini semuanya berhasrat menjadi lanun? Sedang di zamanku, lanun tak dapat berkutik karena keberadaanku dan keempat saudaraku di perairan Selat Melaka. Para lanun akan memutar kemudi dan menghilang saat melihat kapal kami. Lanun akan bermain kucing-kucingan dengan kami karena jika tertangkap, nasib buruklah yang singgah pada mereka. Tapi jika semuanya berlaku seperti lanun, seperti hari ini, siapa yang akan menjadi penindasnya. Siapa yang menjadi pengawal kearifan lokal kita. Siapa?
Penguasa menjelma jadi lanun kelas kakap yang tidak akan rela tanahnya diinjak siapa pun. Mereka akan melakukan berbagai cara untuk mempertahankan wilayah kekuasaannya dengan jalan keji sekali pun. Mereka akan mengubur atau membakar hidup-hidup siapa pun yang dianggap musuh. Begitu pula kaum kecil. Bertindak sadis dan tidak peduli jika wilayahnya yang hanya sebesar telapak kaki diganggu. Bahkan kaum menengah, si perantara penguasa dan rakyat negeri meraih keuntungan berlipat-lipat ganda atas pertikaian yang terjadi. Mereka terkekeh dan menghitung untung di wilayah lain. Mengapa penjajahan tak kunjung berakhir? Jika benar sifat menjajah ini turunan dari para bangsa asing, maka bersiaplah berdiri di jurang kehancuran sendiri. Melayu akan jadi bangkai dan kata-kata, â€Å“takkan Melayu hilang di bumi” tinggal slogan usang yang kian rapuh di kitab-kitab kuno yang dihinggapi rayap-rayap nakal.
Aku memang takkan hadir lagi di bumi Melayu. Begitu juga Tuah, Lekir, Lekiu, Kesturi, Datuk Bendahara, Sultan, Tun Teja, Dang Baharu, Patih Karma Wijaya. Namun spirit tokoh-tokoh itu akan lahir sebagai manusia-manusia baru yang berwajah ranum. Wajah-wajah yang dipoles dengan bedak dan gincu-gincu termahal abad ini. Meski aku takkan kembali dan lahir secara fisik,  semangat perlawanan pasti akan terus berkobar di mana-mana. Aku akan menghancurkan…
***
â€Å“PLAK, PLAK…” dua tamparan sudah cukup menyadarkan Kabut dari igaunya yang panjang.
Lelaki itu telah mengacaukan segalanya. Para pemain, sutradara dan semua pendukung pertunjukan sudah dua hari ikut-ikutan tidak tidur karena ulahnya. Bahkan seluruh pendukung pentas drama keliling itu malu muka, karena pertunjukan yang mereka gelar gagal total akibat Kabut yang berperan sebagai Jebat kerasukan dan mengucai-ngucai tak tentu arah.
â€Å“Tamparanku tadi cukup keras dan aku yakin ia sudah sadar,” gerutu Hamzah, sutradara dalam pentas drama keliling itu.
â€Å“Ini bukan lagi bermain di alam ambang bawah sadar tapi memang si Kabut tak sadar-sadar sampai dua hari, Bos,” kata Ramli si Asisten Sutradara menahan kesal tak tertanggungkan.
â€Å“Sudah, jangan banyak bicara lagi, beri ia minum dan siram badannya dengan air!  Sial, sudah 30 tahun aku jadi sutradara, baru sekarang kejadian aneh ini menimpaku,” serga Hamzah sambil berlalu keluar gedung pertunjukan.
â€Å“Alhamdulillah. Akhirnya kau siuman kawan. Ayo, minumlah air ini untuk melegakan tenggorokanmu. Pasti sudah kerontang karena kau sudah main drama seorang diri tanpa kau sadari sama sekali,” Udin coba menghibur rekannya yang terlihat kebingungan dengan mata terbelalak, ke kiri dan kanan.
Tingkah laku Kabut yang kelihatan seperti orang kebingungan itu membuat rekan-rekannya tertawa terpingkal-pingkal sekaligus bersyukur. Mereka telah melewati hari-hari melelahkan. Ruangan gedung pertunjukan dan seisinya berseri kembali. Bomo yang dipanggil tertidur pulas dan sesekali menginggau seperti sedang membaca mantera. Dukun kampung itu, lebih dulu terkapar setelah letih mengobati pasien yang tak kunjung siuman. Karena kehabisan akal dan cara, akhirnya ia diserang kantuk teramat sangat dan meninggalkan pekerjaannya dalam sejuta tanya. Menyaksikan itu, seluruh awak pertunjukkan kian terpingkal sampai mengucapkan kata-kata kotor yang memang biasa mereka muntahkan dalam keseharian saat proses latihan berlangsung.
Kabut berusaha untuk duduk dan mengenali orang-orang di sekitarnya. Ia masih kelihatan linglung dan mencari jawab atas semua itu. â€Å“Apa yang telah terjadi?” Bukannya mendapat jawaban atas pertanyaan itu, melainkan tawa berdekah-dekah yang tak terkontrol dari rekan-rekannya makin menjadi. Melihat itu, Kabut berusaha bangkit dan berdiri, â€Å“Hei apa kalian sudah gila, ha!”
Sesaat berselang, Hamzah masuk lagi ke gedung pertunjukan. Orang tua itu, tampak berjalan tergopoh-gopoh namun kali ini wajah cerah. Semua orang terdiam dan kebingungan melihat tingkah sang sutradara tersebut. Hamzah berdiri di panggung, tepat di tengah-tengah pemain yang menatap lekat-lekat ke parasnya yang penuh kerutan. Suasana menjadi lebih hening. â€Å“Kita istirahat untuk beberapa hari,” katanya mantap, â€Å“pertunjukan selanjutnya akan lebih hidup karena igauan Kabut telah mengilhamiku. Beberapa hari ke depan aku akan menyelesaikan penulisan skrip baru untuk pertunjukan kita. Percayalah, pertunjukan nanti akan memberi pencerahan kepada penonton,” celotehnya.***

1 komentar:

Unknown mengatakan...

lau mau komentar disini ya

komentar client